Sabtu, 13 September 2008

Korupsi, dan Masalah Kesadaran Agama

"Pada Era Orla, korupsi dilakukan di bawah meja. Pada Era Orba, korupsi dilakukan di atas meja. Dan pada Era Reformasi, korupsi tidak hanya dilakukan di atas meja, malah mejanya turut diembat." Itulah olok-olok yang acapkali kita dengar, berkaitan dengan fenomena korupsi di negara kita yang kian hari kian menunjukkan grafik menggila.

Bahkan tidak menutup kemungkinan, pasca Pemilu 2004, praktik korupsi akan dilakukan dengan cara yang jauh lebih terang dan edan lagi; yakni tidak hanya dengan mengembat meja, gedungnya pun turut diboyong.

Realitas di atas menunjukkan, moral bangsa kita (baca; pejabat) kian hari kian mengalami dekadensi dan degradasi. Korupsi yang dulu tabu, kini terang-terangan dilakukan. Yang dulu dipraktikkan minoritas orang, kini dilakukan mayoritas orang. Yang dulu menjadi rahasia privat, kini menjadi rahasia umum. Ini berarti, (tak terbantahkan lagi) kehidupan berbangsa kian bobrok. Kenyataan ini seirama dengan isyarat Nabi SAW 15 abad silam; "Tidak akan datang satu hari pun, kecuali ia lebih buruk dari hari sebelumnya." (HR al-Bukhari).

Karena itu, Rizal Ramli, Menko Ekuin pada rezim Gus Dur, beberapa waktu lalu berkomentar; "Meski pemerintahan Megawati hanya seusia jagung, tingkat korupsi saat ini lebih parah, lebih gila."

Kenyataan ini juga sealur dengan hasil penelitian Transparancy International Indonesia (TII) pada 2001. TII menyimpulkan, Indonesia berada pada peringkat keempat negara terkorup di dunia. Malah, survei yang dilakukan PERC, sebuah lembaga ekonomi di Singapura, akan membuat kita kian takjub. PERC menobatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia.

Ini berarti, hasil-hasil penelitian itu dengan sahih menunjukkan bahwa Indonesia dihuni para maling. Sehingga, wajar saja bila Wasingatu Zakiyah pernah menjuluki Indonesia sebagai Negara Kleptokrasi (negara para maling). Atau-pinjam bahasa Dr B Herry Priyono-negara ini bukan democracy,tapi chremocracy(pemerintahan para penyuap) yang berujung pada kleptocracy.

Problem kesadaran beragama

Mercie Elide, seorang teolog Rumania, pernah berujar; "Orang beragama adalah orang yang dapat membedakan mana yang suci dan mana yang tidak. Dan dia cenderung melakukan yang suci."

Pernyataan ini menunjukkan, orang yang memiliki kesadaran beragama sejati, akan cenderung menjalankan ajaran agamanya (yang memang mencerminkan kesucian) dan meninggalkan yang tidak suci. Konsekuensinya, orang yang mengaku beragama, tapi justeru mempraktikkan perilaku tidak suci, semisal korupsi, tidak layak menyandang predikat "orang beragama." Sebab, apalah artinya beragama, bila perilakunya menyimpang dari semangat ajaran agama yang didewakannya. Ini tak ubahnya perilaku fasiq atau fajir; yakni melakukan kejahatan kemanusiaan dengan berlindung di balik ajaran suci agama. Tapi, itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, masyarakat yang begitu membanggakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

Sungguh ironis! Beragama jalan terus, korupsipun jalan terus. Ini artinya, kita punya dualisme karakter; karakter orang beragama sekaligus penjahat agama. Itulah paradoks keberagamaan kita. Kenyataan ini mengisyaratkan, tingkat kesadaran beragama kita masih dilematis. Dan ini kenyataan yang sangat menyedihkan.

Yang lebih telak lagi, bila kita 'umat Islam khususnya' mau merunut secara sadar, siapa yang melakukan kejahatan korupsi itu, kita akan ternganga. Kita sadar, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Pejabat-pejabat rolling group, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatisf, mayoritas muslim. Padahal, korupsi yang paling dahsyat, menggelora di sana. Apa artinya? Kaum muslimlah yang (diduga) paling rakus mengeruk uang rakyat dengan cara tidak elegan dan tidak sah.

Konsekuensinya, kaum muslimlah yang paling bertanggungjawab atas runtuhnya berbagai tatanan pemerintahan yang ada. Jelas, ini tamparan telak bagi Islam khususnya dan umat muslim umumnya. Karena, Islam mengajarkan untuk tidak menzalimi siapapun (apalagi rakyat banyak) dengan cara apapun (kendati sekecil atom). Dan korupsi merupakan sebentuk penzaliman luar biasa dan berdampak dahsyat.

Lagi-lagi, kenyataan ini menyiratkan, banyak kaum muslim telah melakukan "pengkhianatan" terhadap ajaran suci agamanya. Dalam al-Qur'an misalnya, ada ayat yang menyatakan ; "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (al-Ankabut; 45).

Dengan mamahami satu ayat ini dan mengamalkannya secara konsisten, seharusnya kita tidak terperosok dalam perilaku al-fahsya' (salah satunya korupsi). Tapi, toh kita tetap terperosok dalam lembah al-fahsya' itu. Ini menunjukkan, kesadaran kita terhadap ajaran yang diusung ayat ini begitu memprihatinkan. Ini baru satu ayat, belum ayat-ayat lain yang jumlahnya banyak. Kita akan semakin prihatin saja; betapa kita telah banyak menerabas dan melabrak ajaran suci yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur'an (dan Hadis). Kita hanya bisa melanggar, bukan mengamalkannya. Kesadaran kitapun, terkait fenomena korupsi itu, baru sebatas bagaimana mempertahankan hidup.

Apapun caranya, kelanggengan hidup harus kita pertahankan, kendati dengan melabrak batas agama. Inilah sebabnya Nabi SAW mewanti-wanti umatnya; "Akan datang suatu masa, di mana manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan sesuatu, baik dari jalan halal maupun haram." Dan memang, cara "tidak peduli jalan" itulah yang ditempuh kita yang koruptor ini dalam mengais rezeki.

Sebab itu, ungkapan "koruptor bermata kuda" sangat sahih. Koruptor hanya melihat kepentingan di depannya; diri, keluarga, kroni, dll, tanpa melirik (apalagi melihat) kemaslahatan yang ada di samping. Pada gilirannya, karena mental kita yang pejabat atau penguasa ini sudah dirasuki virus korupsi, budaya korupsi pun tak terelakkan lagi dan malah mengarat. Semua lapisan berlomba untuk korupsi dan korupsi seakan perlombaan saja. Dan di tengah-tengah tradisi korupsi akut ini, menemukan orang yang bersih dan steril, laksana mencari jarum di padang sahara.

Memahami Korupsi dengan bahasa agama

Tak dapat dibantah lagi, korupsi adalah tindakan yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun. Ini karena korupsi menyiratkan dua aspek kejahatan; kejahatan teologis dan kejahatan kemanusiaan. Korupsi diklaim sebagai kejahatan teologis, karena pelakunya telah mengingkari dan mengkhianati ajaran-ajaran suci agama yang dipeluknya.

Tidak ada satu ajaran agamapun yang mentolerir, apalagi membenarkan tindak korupsi. Bila ada ajaran agama yang mentolerir, apalagi membenarkannya, maka ajaran itu tidak layak disebut sebagai ajaran agama.

Sedangkan klaim korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, ini karena efek dari tindakan korupsi itu, masyarakat (terutama yang lemah) kian hidup dalam kubangan kesengsaraan. Sebab, uang negara yang seharusnya ditasharrufkan bagi kemaslahatan mereka, tidak mencapai sasaran. Uang itu "ditelan" para koruptor. Ini berarti, para koruptor telah merampas kesejahteraan mereka. Itulah kejahatan sekaligus tragedi kemanusiaan yang luar biasa dahsyat. Karenanya, tak ada kata tawar lagi, korupsi harus secepatnya diberangus hingga ke akarnya, sebelum kejahatan dan tragedi kemanusiaan itu kian menjadi-jadi.

Memang, telah banyak sanksi yang dialamatkan pada para koruptor, baik sanksi formal (hukuman penjara) maupun non-formal (mayat koruptor tidak dishalati). Namun, grafik tindak korupsi bukannya mereda, melainkan kian menggila saja. Ini berarti, pemberian sanki saja belum cukup ampuh untuk meredam tindak korupsi. Barangkali saja, sanksinya terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan jera. Bila demikian, sanksi terberatpun harus ditawarkan, semisal hukuman mati.

Namun, yang terpenting sebenarnya bukan pemberian sanksi itu, melainkan mengembalikan basik kesadaran beragama mereka. Sebab, perilaku korupsi itu berakar dari kesadaran beragama yang sangat memprihatinkan. Dengan demikian, bila kesadaran beragama itu berhasil dipulihkan, niscaya tindak korupsi dapat diminimalisir.

Hanya masalahnya, mengembalikan kesadaran beragama yang telah tercerabut itu, bukan pekerjaan mudah. Tapi, toh masih ada kesempatan untuk melakukan hal itu. Caranya dengan berpijak pada dua model penyadaran; penyadaran teologis dan penyadaran sosial.

Pertama, penyadaran teologis. Maksudnya, secara teologis kita harus sadar, bahwa segala tindak-tanduk kita, senantiasa dipantau Allah SWT dan akan mendapat imbalan yang setimpal, baik di dunia maupun (terutama) di akhirat. Perilaku baik akan diganjar kebaikan dan perilaku buruk akan diganjar keburukan. Tidak ada perilaku, sekecil apapun, yang lepas dari pantauan Allah SWT. Lebih-lebih perilaku jahat yang nyata-nyata merugikan kemaslahatan rakyat banyak, seperti korupsi.

Nabi SAW juga bersabda; "Setiap daging yang tumbuh dari hasil perbuatan haram, maka api neraka lebih pantas untuk melahapnya." (HR Ibnu Hibban). Secara teologis, ujaran Nabi SAW ini selayaknya juga dijadikan pijakan dalam mengais rezeki. Karena, cara-cara yang digunakan untuk itu, kelak akan dipertanyakan. Dan korupsi termasuk cara "menumbuhkan daging dengan perbuatan haram" yang diancam siksa berat.

Secara teologis pula, siapapun kita tidak akan bisa berkelit dari sanski super dahsyat di akhirat, kendati kita bisa lepas dari sanksi dunia (inilah fungsi yaum al-hisab). Dengan demikian, bila kesadaran teologis ini telah terbangun, perilaku jahat yang merugikan orang lain pun dapat dihindari atau miniminal direduksi.

Kedua, penyadaran sosial. Banyak ditemukan, baik dalam al-Qur'an maupun Hadis, ajaran yang mengatur hubungan antar sesama. Misalnya, hubungan itu (dalam hal apapun) tidak boleh dibangun atas dasar saling menzalimi dan menjahati. Allah SWT berfirman; "Dan janganlah kamu memakan harta orang lain diantaramu dengan cara bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu (dengan jalan) dosa, padahal kalian mengetahui." (al-Baqarah; 188).

Karenanya, bila hubungan antar sesama (terutama hubungan penguasa dengan rakyat) dilandasi prinsip tidak saling merugikan, maka kehidupan yang bersahaja akan terbangun. Orang tidak akan berpikir untuk menzalimi orang lain, dengan berkorupsi misalnya. Sebab, korupsi berarti mengingkari prinsip hubungan saling menguntungkan itu. Dan terbukti, korupsi itulah penyebab runtuhnya tatanan kehidupan yang bersahaja. Ini sesuai firman Allah SWT dalam al-Rum; 41 yang menyatakan, ulah manusialah penyebab kehancuran dunia. Namun demikian, toh masih saja ada harapan untuk melakukan perbaikan. Harapan itu, seperti tertuang dalam al-Ra'd; 11, sepenuhnya berada dalam genggaman kita. Semoga! Wa Allah a'lam.

Lembaga yang Berperan Besar dalam Korupsi

Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) tentang
perseps
i masyarakat bahwa DPR dan parpol merupakan lembaga terkorup
telah menimbulkan kontroversi. Ketua DPR dan Ketua MPR mempersoalkan.
Sebenarnya hasil survei tersebut "benar" dari satu segi dan
"salah" dari segi lain. Dengan metodologi yang ketat dan dikerjakan
oleh lembaga yang kredibel seperti Gallup dan TII dapat dipastikan
hasil survei tersebut benar bahwa ?menurut persepsi masyarakat? DPR
dan parpol merupakan lembaga terkorup. Tetapi jika dikaitkan dengan
"fakta kuantitatif" tentang kasus korupsi dapat dipastikan bahwa
persepsi tersebut ?salah.? Jadi memang benar ada persepsi di
masyarakat, tapi persepsi tersebut salah jika dikaitkan dengan fakta.
Sangatlah tak masuk akal kalau DPR dan parpol itu dikatakan paling
korup menurut UU sebab anggaran DPR tak sampai satu persen dari
seluruh APBN yang seumpama dikorupsi semua pun tak akan menjadi
korupsi terbesar; sementara parpol tidak mengelola uang negara kecuali
bantuan sesuai dengan suara hasil pemilu yang jumlahnya tak seberapa.
Tapi persepsi masyarakat bahwa DPR dan parpol itu terkorup
memang bisa muncul jika memakai ukuran perilaku korupsi
nonkonvensional; bukan korupsi konvensional atas uang negara yang
menurut UU ukurannya adalah melawan hukum, menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau korporasi, dan merugikan keuangan negara. Karena
pemberitaan gencar di media massa, yang banyak dilihat oleh masyarakat
dari perilaku korupsi di DPR dan parpol adalah percampuradukan antara
korupsi nonkonevesional dan korupsi konvensional yang diakumulasikan
begitu saja sehingga menjadi persepsi.
Perilaku korupsi di DPR dan parpol yang dicampuradukkan itu
misalnya, minta disponsori pemerintah untuk kegiatan yang tidak
penting, mengubah sikap kritis menjadi akomodatif asalkan mendapat
secara diam-diam, memeras mitra kerja untuk menyikapi satu isyu,
arogan dan minta dilayani secara berlebihan, mencari-cari peluang
untuk studi banding yang sebenarnya tak perlu, tak sensitif terhadap
persoalan masyarakat, parpol memungut uang yang tak wajar untuk
rekomendasi pencalonan pilkada, minta diperlakukan dengan protokoler
resmi dalam kegiatan yang bersifat pribadi, mencampuraduk urusan
partai dengan urusan DPR, berselingkuh, dan sebagainya. Semua itu
adalah perilaku korupsi meskipun tidak selalu korupsi konvensional.
Akumulasi atas perilaku itulah yang menimbulkan persepsi bahwa DPR dan
parpol merupakan lembaga terkorup.
Dengan demikian jika hanya diukur berdasar korupsi konvensional
yakni yang berkaitan dengan besaran uang dan tugas negara menurut UU
pastilah DPR dan parpol "bukan lembaga terkorup". Faktanya, ada
ratusan anggota DPR/DPRD yang didakwa dan dihukum melakukan tindak
pidana korupsi tetapi jumlah keseluruhan uang yang dikorupsi
dipastikan tidak sampai 10% dari dana kasus korupsi yang didakwakan
dan dihukumkan kepada satu (saja) kasus terbesar dari korupsi-korupsi
yang terjadi di eksekutif.
Alahasil DPR dan Parpol memang mungkin menjadi lembaga paling
korup secara nonkonvensional, tetapi tidak secara konvensional. Yang
sewot dengan hasil survei TII itu sebenarnya mereka yang tak
membedakan antara persepsi dan fakta dan antara korupsi konvensional
dan korupsi nonkonevensional.

Pengaruh Global Warming

Pemanasan Global ternyata telah memaksa semua bidang industri untuk berpikir keras untuk mengusahakan penanganannya, tanpa terkecuali bidang Teknologi. Hal ini dikarenakan oleh parahnya dampak kerusakan yang ditimbulkannya bagi ekosistem dan kelangsungan kehidupan manusia secara luas.

Menurut penelitian Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC), sebuah lembaga internasional beranggotakan lebih dari 100 negara yang diprakarsai PBB, pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan suhu di dunia sekitar 0,6 hingga 0,7 derajat, sedangkan di Asia lebih tinggi lagi, yaitu 10 derajat. Hal ini berdampak pada melelehnya Gleser (Gunung Es) di Himalaya dan Kutub Selatan serta berkurangnya ketersediaan air di daerah-daerah tropis sebanyak 20% hingga 30%. Melelehnya Gleser di Himalaya dan Kutub Selatan sendiri berdampak secara langsung pada peningkatan permukaan air laut setinggi 4-6 meter. Jika hal ini terus menerus dibiarkan maka pada tahun 2012 air laut akan mengalami kenaikan lagi sekitar 7 meter. Dengan begitu otomatis ekosistem dan kehidupan di daerah pesisir dan kepulauan akan terancam punah.

Sedangkan perubahan secara umum yang dirasakan dunia saat ini adalah semakin panjangnya musim panas dan semakin pendeknya musim hujan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup dunia secara luas.

Berangkat dari keprihatinan inilah berbagai bidang industri kini mau tidak mau harus memikirkan langkah penanganan pemanasan global ini. Dimulai dari pengurangan emisi gas buang dari sektor industri dan transportasi yang selama ini dituding sebagai salah satu kontributor utama pemanasan global, hingga penciptaan teknologi yang ramah lingkungan untuk berbagai produk mulai dari alat transportasi hingga berbagai perlengkapan elektronik dan komputer yang ramah lingkungan pun mulai dibuat.

Bidang industri Teknologi Informasi walaupun tidak terkait secara langsung pemanasan global seperti halnya bidang pertanian dan lingkungan hidup, namun harus mampu menghadirkan teknologi yang mendukung penanggulangan global warming atau pemanasan global ini. Hal ini disebabkan karena pada berbagai bidang usaha yang ada di dunia saat ini, teknologi informasi telah menjadi tulang punggung bergeraknya industri yang ada. Mulai dari mesin-mesin di pabrik yang mempergunakan mikrokomputer hingga proses komputasi di perkantoran yang juga mempergunakan komputer. Secara tidak langsung hal-hal tersebut di atas telah menunjukkan bahwa bidang IT telah banyak menyedot penggunaan energi dunia secara luas,

Rabu, 10 September 2008

Cerita Sukses Rossi

Jika di Formula One kita mengenal Michael Schumacher sebagai sang legenda, maka di lomba balap motor pun ada jawaranya. Grand Prix Moto GP mencatat Valentino Rossi sebagai seorang master di balap motor ini. Pria kelahiran Urbino, Italia, 16 Februari 1979 ini berhasil menorehkan tinta emas di dunia balap motor dengan membukukan tujuh gelar juara dunia, sekali di kelas 125 cc, sekali di kelas 250 cc, dan lima kali di kelas puncak 500 cc dan MotoGP.

Bakat pria berusia 29 tahun ini sudah terlihat sejak kecil. Ketika anak-anak seusia asyik dengan mainannya, Rossi sudah bermain dengan motor balap sungguhan. Mental juaranya sudah terasah sejak usia dini. Di usia sepuluh tahun, bahkan Rossi sudah menjuarai kejuaraan gokart regional dengan mengalahkan lawan-lawannya yang berusia jauh di atasnya.

Pada usia baru menginjak 14 tahun, Rossi juga sudah menjadi juara balap nasional Italia di kelas 125 cc. Kemudian, pada tahun 1998 Rossi naik kelas di kategori 250 cc. Pada tahun pertama ia langsung menjadi runner-up. Perkembangan pesat hasil latihan kerasnya kemudian segera mengantarkan Rossi naik ke kelas internasional. Ia pun menjajal MotoGP kelas 125 cc. Tak perlu menunggu lama, setahun berikut ia sudah naik podium sebagai juara dunia kelas 125 cc.

Perkembangan karier Rossi melaju sangat pesat. Tahun 2000, penyuka tantangan ini menjajal kelas utama 500 cc. Prestasinya langsung menghebohkan publik dengan juara dunia kelas 500 cc di tahun kedua. Selama tiga tahun berturut-turut Rossi mempertahankan gelarnya di kelas utama bersama Honda.

Menurut Rossi kunci kemenangannya adalah ketenangan dan menjadi pemikir. "Di balap 500 cc kita tidak butuh superhero. Yang kita perlukan cuma tenang, kalem, dan pemikir seperti dokter,"ucapnya. Dengan ketenangan itulah, berkali-kali ia sering memperlihatkan aksi "akrobatik" saat hendak terjatuh atau saat menyalip lawan di tikungan.

Pada akhir musin 2003, Rossi memutuskan untuk meninggalkan tim Honda dan bergabung dengan tim Yamaha, yang terakhir meraih juara dunia pada tahun 1992 melalui pembalapnya Wayne Rainey. Awalnya, ia disangsikan bisa meneruskan kejayaannya saat masih di tim lama karena memang performa Yamaha dianggap masih sekelas di bawah Honda.

Tapi, bukan Rossi namanya jika tak mampu menaklukkan tantangan. Ia membuktikanb bahwa mesin hanyalah alat, dan oranglah-yakni dirinya sebagai pembalap-yang menentukan menang dan kalah. Dan, ia pun membuktikan semua omongannya. Tim Yamaha mampu diangkatnya ke pentas juara sehingga ia dijuluki The Doctor. Bersama tim Yamaha, Rossi berhasil membuktikan dirinya tetap menjadi yang terdepan dengan menjadi juara dunia tahun 2004 dan 2005.

Rossi merupakan sosok yang menyukai tantangan. Kepindahannya ke Yamaha memberikan tantangan tersendiri baginya. Motivasi untuk mengatasi tantangan membuat Rossi selalu berjaya di setiap kelas dan tim yang digelutinya. Ia merupakan sosok yang dinamis yang tak pernah berhenti dan merasa puas dengan pencapaiannya. Tantangan apapun yang ada di depannya pasti akan dikejarnya.

Menyukai tantangan dan tidak patah semangat adalah kunci keberhasilan dari seorang Valentino Rossi. Ia mampu membuktikan dirinya sebagai yang terdepan di arena balap MotoGP. Tekad dan pemikiran yang matang membuat namanya semakin berkibar di dunia internasional. Kisah perjalanan Valentino Rossi yang layak diacungi jempol dan diteladani. Luar biasa!

Makna Puasa di Bulan Ramadhan

Puasa, bukan sekedar kewajiban tahunan, dengan menahan lapar dan berbuka, kemudian setelah itu hampir tidak berbekas dalam jiwa ataupun dalam perilaku dalam bersosialisasi di masyarakat, namun puasa lebih kepada kewajiban yang mampu menggugah moral, akhlak, dan kepedulian kepada hal social kemasyarakatan. Puasa merupakan kewajiban yang universal, dan sebagai orang yang beragama Islam, maka perlu diyakini bahwa puasa merupakan kewajiban yang disyariatkan untuk setiap muslim/mukmin, seperti layaknya sebagai umat dari Nabi Muhammad SAW.

Puasa, merupakan satu cara untuk mendidik individu dan masyarakat untuk tetap mengontrol keinginan dan kesenangan dalam dirinya walaupun diperbolehkan. Dengan berpuasa seseorang dengan sadar akan meninggalkan makan dan minum sehingga lebih dapat menahan segala nafsu dan lebih bersabar untuk menahan emosi, walaupun mungkin terasa berat melakukannya.

Puasa juga merupakan kewajiban yang konkret sebagai pembina suatu kebersamaan dan kasih sayang antar sesama. Sesama orang Islam akan merasakan lapar, haus, kenyang, dan sulitnya menahan emosi dan amarah diri. Puasa dalam satu bulan, seharusnya dapat membawa dampak positif berupa rasa solidaritas dan kepedulian antar saudara, rasa kemanusiaan yang mendalam atas penderitaan sesama manusia. Perasaan sama-sama lapar, haus, kesabaran yang lebih, dan kesucian pikiran juga kata-kata, mampu membuat manusia memiliki rasa kebersamaan dalam masyarakat, dan menghasilkan cinta kasih antar sesama tanpa memandang latar belakang, warna kulit, dan agama.

Keistimewaan Bulan Puasa

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa, bulan penuh berkah, dan segala amal baik umat-Nya di dunia akan dibalas berlipat ganda oleh Tuhan. Semangat untuk menjalankan ibadah puasa, mampu membentuk karakter untuk memperbanyak amal kebajikan maupun amal ibadah spiritual dalam diri. Selain itu, bulan puasa merupakan bulan yang dapat digunakan untuk membuat mental menjadi tetap konsisten dan istiqamah dalam sebelas bulan berikutnya.

Namun, apapun yang diperbuat di bulan puasa ini, semuanya kembali kepada kesadaran diri masing-masing, untuk memahami makna puasa, dan makna-makna lain yang akan menentukan sikap dan perilaku diri ke depan setelah berlalunya bulan puasa. Oleh karena itu, apa yang sampai di mata dan telinga Allah, adalah niat, maka hati dan pikiran kita untuk menjalankan ibadah puasa, bukan penampilan lahiriah atau materi peribadatan yang dilakukan.

Wajib Niat sebelum Puasa

1. Wajibnya Niat Puasa Wajib Sebelum Terbit Fajar
Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya” [Hadits Riwayat Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar 1/54 : "Niat di malam hari" dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka tidak ada puasa baginya” [Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada 'an-anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya].

Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid’ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya) : “Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa” [Hadits Riwayat Muslim 1154].

Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda’, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam [Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147]

Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib. Wallahu Ta’ala a’lam

2. Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari’at
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, -ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha’). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari, karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak tahu telah masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari’at yang telah ditetapkan : “Kemampuan adalah dasar pembebanan syari’at.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, (dia berkata) (yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka dipersilahkan” [Hadits Riwayat Bukhari 4/212 dan Muslim 1135]

Dan dari Salamah bin Al-Akwa’ Radhiyallahu, ia berkata (yang artinya) : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura” [Hadits Riwayat Bukhari 4/216, Muslim 1135].

Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.

3. Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa’ tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami pada hari Asyura kemudian beliau bersabda : “Apakah kalian puasa pada hari ini ?” sebagian mereka menjawab : “Ya” dan sebagian yang lainnya menjawab : “Tidak” (Kemduian) beliau bersabda : “Sempurnakanlah puasa hari pada sisa hari ini”. Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka” [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192, Ibnu Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-Sya'bi darinya, dengan sanad yang Shahih]

Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud [Hadits Riwayat Muslim 1127] : “Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura”.

Dan ucapan Aisyah [Hadits Riwayat Muslim 11225] : “Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura (berartti puasa Asyura tidak wajib lagi hukumnya -pent)

Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a’lam.

Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :
1. Wajibnya puasa Asyura
2. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak puasanya, dan
3. Barangsiapa makan dan minum kemudian tahu di sisa hari tersebut, maka tidak wajib mengqadha’

Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Walalhu a’lam.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata : “Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : “Kalian puasa hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha’lah kalian”.